صيام رمضان ينمّي التعاطف والتضامن

'Puasa Ramadhan Tumbuhkan Empati dan Solidaritas

0 659

جاكرتا، إندونيسيا اليوم —  صيام رمضان ليس مجرد الإمساك عن العطش والجوع فحسب. بل الصيام الحقيقي هو أيضا لتدريب ضبط النفس والشعور بآلم الآخرين. لذلك، يجب تفسير هذا الصيام في رمضان على أنه ينمي التعاطف لبناء تضامن اجتماعي قوي من أجل بناء إندونيسيا سلمية وذات سيادة من أجل تجنب خطر التطرف والإرهاب.

“صيام رمضان هو عبادة خاصة. وفي هذا الشهر كان الله جل جلاله لديه العديد من المهام. انطلاقا من التعزيز الداخلي لكل مسلم، كيف نرتبط بالله حتى تصبح العلاقة معه أفضل وكيف نعزز التضامن بين إخواننا المسلمين. الصيام هو أيضا مزرعة التعاون بين الناس من مختلف الديانات، “قال رئيس الجامعة الإسلامية الحكومية شريف هداية جاكرتا، البروفيسور الدكتور ديدي روشادا، الخميس (24/5).

كما أوضح ديدي، في هذا الشهر من رمضان، أمر الله عباده أيضا بالإكثار من الصدقة أي بإعطاء شيء للآخرين. لأنه في الحقيقة، كان الله تعالى من خلال رسوله، يعلم عباده من أجل بناء التراحم والتعاطف والتضامن مع الآخرين. حيث إن هذه الرحمة ستتسع على أوسع نطاق، ليس في الأمور اليومية فحسب من الاجتماعية، والاقتصادية، الدولة.

“أرى أن هذا الصيام استراتيجي للغاية بالنسبة للمسلمين لمحاولة الارتقاء إلى مستوى الصوم لبناء هذه الأمة الكبيرة من خلال العمل الجماعي، سواء كان الشخص دينًا واحدًا أو دينًا مختلفًا. هذا جزء مبني من خلال هذا الصيام “.

ثم في نهاية رمضان وفقا له، أمر الله عباده بدفع زكاة الفطرة لتنظيف أنفسهم أيضا ولإطعام الفقراء. وبالتالي، فإن الجزء الفعلي من عملية الصيام هو كيفية بناء التضامن بين المسلمين ومع أشخاص مختلفين في الأديان، “قال فائز في درجة الدكتوراه من جامعة ماكجيل ، كندا.

ووفقا له ، يجب أن يستفيد المجتمع من الصيام أيضا للصبر حتى لا يسهل أن يتحرك ضد الأعمال السلبية مثل خطاب الكراهية والخدعة. خاصة في الآونة الأخيرة عندما هزت الأمة الإندونيسية العديد من أعمال الإرهاب.

“ليس فقط الصبر ، ولكن أيضا رفض الإرهاب. على الرغم من أن هذا الإجراء غالبا ما يستهدف الرموز الدينية عند القيام بأعمال الإرهاب، سواء من حيث الملابس أو الكلام أو النطق وما إلى ذلك. لكن العمل نفسه ليس دينًا وليس جزءًا من الأمور الدينية “.

المترجم : أحمد شكري | المحرر : فارس البدر | المصدر : ريبوبليكا


Jakarta, Indonesiaalyoum.com — Puasa Ramadhan dinilai bukan sekadar menahan haus dan lapar. Ibadah puasa sejatinya juga untuk melatih pengendalian diri dan merasakan penderitaan orang lain. Oleh karena itu puasa Ramadhan ini harus dimaknai untuk menumbuhkan empati untuk membangun solidaritas sosial yang kuat demi membangun Indonesia damai dan berdaulat agar terhindar dari bahaya radikalisme dan terorisme.

“Puasa Ramadhan adalah ibadah yang khas. Di bulan ini Allah punya banyak misi. Mulai dari peningkatan internal diri setiap muslim, bagaimana berhubungan dengan Allah agar hubungan ke atasnya terasa lebih baik dan bagaimana memupuk solidaritas sesama muslim. Puasa ini juga untuk memupuk kebersamaan terhadap orang-orang yang berbeda etnik, bahkan berbeda agama,” ujar Rektor Universita Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Dede Rosyada, Kamis (24/5).

Lebih lanjut Dede menjelaskan, di bulan Ramadhan ini Allah juga memerintahkan kepada umatnya  untuk lebih banyak beribadah dengan sedekah dengan memberikan sesuatu kepada orang lain. Karena pada hakekatnya, Allah melalui Rasullulah, sedang melatih umatnya agar bisa membangun empati, kasih sayang dan membangun solidaritas kepada orang lain. Yang mana kasih sayang tersebut dimensinya akan sangat luas, tidak sekadar dimensi konsumtif yakni dimensi kehidupan sosial, dimensi ekonomi, dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Saya kira puasa ini salah satu yang sangat strategis bagi umat Islam untuk mencoba menghayati betul makna dari puasa ini untuk membangun bangsa ini lebih besar melalui  kebersamaan, apakah orang itu satu agama atau berbeda agama. Ini merupakan bagian yang dibina melalui ibadah puasa ini,” ujarnya.

Lalu  di akhir Ramadhan menurutnya, Allah telah memerintahkan kepada umatnya untuk membayarkan zakat fitrah untuk membersihkan diri juga untuk memberikan makan kepada orang orang miskin. Dengan demikian, sebenarnya bagian dari proses ibadah puasa ini salah satunya adalah bagaimana membangun solidaritas sesama muslim dan dengan orang-orang yang berbeda agama sekalipun,” ujar peraih gelar Doktoral dari McGill University, Kanada ini.

Menurutnya, puasa juga harus digunakan masyarakat untuk bersabar diri agar tidak mudah terpancing terhadap aksi-aksi negatif seperti ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong (hoaks). Apalagi akhir-akhir ini bangsa Indonesia diguncang dengan beberapa aksi terorisme.

“Tidak hanya bersabar diri, tapi juga menolak terorisme. Walaupun seringkali aksi tersebut menggunakan simbol-simbol agama ketika melakukan aksi terornya, baik dari segi pakaian, ucapan, lafal dan sebagainya. Tapi aksi itu sendiri bukanlah agama  dan tidak menjadi bagian dari perintah agama,” katanya.

Penerjemah : Ahmad Syukri | Editor : Fares Al Badr | Sumber : Republika

تعليقات
Loading...