10 % من شعب كوريا الشمالية عبيد، فكيف إندونيسيا؟

Satu dari 10 Warga di Korut Jadi Budak, Bagaimana di Indonesia

0 878

جاكرتا، إندونيسيا اليوم – لا يزال الرق موجودًا في العصر الحديث . على الرغم من أنه  مختلف عمليا عن الماضي، وأسوأ حالاته ما يقوم به نظام كوريا الشمالية.

أصدرت مؤسسة والك فري يوم الخميس (20/7) أحدث تقرير لها عن عدد العبيد في جميع أنحاء العالم بعنوان “مؤشر العبودية العالمية”. بحلول عام 2016، وفقا للتقرير، هناك 40.3 مليون شخص من ضحايا العبودية الحديثة في جميع أنحاء العالم.

تحتل كوريا الشمالية المرتبة الأولى من 133دولة. يقدر بين 25.2 مليون نسمة، 2.6 مليون من العبيد. أي أن واحدا من كل عشرة أشخاص في كوريا الشمالية هو عبد.

العبودية الحديثة   يصاحبهاالتهديد، والعنف، أو الخداع ،من أجل أن  القيام بأعمال السخرة الشاقة مثل، استخراج الفحم، ومزارع الكاكاو والقطن، وقطع الأشجار، أو صيد الأسماك.

في كوريا الشمالية، فإن هذه الممارسة هي الأكثر انتشارا في قطاع  استخراجالفحم. البلد الذي يقوده كيم جونغ أون غني بالفحم مع احتياطيات الفحم تقدربنحو 4.5 مليار طن. لكن التجارة صعبة بسبب العقوبات والحظر.

أحد العبيد الكوريين السابقين هو يون مي بارك   بيع إلى الصين لزواج اجباري، قبل أن يهرب في النهاية إلى الولايات المتحدة.

قال متحدثا في مقر الأمم المتحدة في نيويورك بالولايات المتحدة “هذا المؤشر يدعو للقلق.”

وقال بارك الذي يدرس حاليا في جامعة كولومبيا “أكثر من 40 مليون شخص، ليست مجرد أرقام، يمكن أن يكون أي شخص، هذا أنا، وهذه أمي، وهذه أختي”.

“حتى اليوم، هناك 300.000 من الهاربين الكوريين الشماليين في الصين، ويباع 90 % منهم، يبيعهم رجال صينيون مقابل بضع مئات من الدولارات”.

البلد أكثر استعدادا بعد كوريا الشمالية هو إريتريا، وبوروندي، وجمهورية أفريقيا الوسطى، وأفغانستان، وموريتانيا، وجنوب السودان، وباكستان، وكمبوديا وإيران.

وقال التقرير: “النظام القمعي هو الأكثر إثارة للقلق لأن الناس مجبرون على العمل لدعم الحكومة.”

أين إندونيسيا؟

استناداً إلى سجل مؤشر الرق العالمي، تحتل إندونيسيا المركز 74 في 167 دولة والمركز السابع عشر من 28 بلداً آسيوياً. يقدر حاليا أن هناك 1.220.000 شخص أصبحوا أرقاء حديثا في إندونيسيا.

وفقاً للسجلات الواردة في المؤشر، تحدث العبودية في العديد من قطاعات مصايد الأسماك في إندونيسيا.

وقال التقرير: “اتخذت الحكومتان التايلاندية والإندونيسية خطوات للرد على هذه القضية، لكن ما زال هناك الكثير الذي يتعين القيام به للحد من العنف في صناعة الصيد”.

ويبين التقرير أيضا أن البلدان المتقدمة النمو مسؤولة أيضا عن هذه الحالة. يزعم أن هذه الدول استوردت 350 مليار دولار أمريكي من السلع من المنتجين المزعومين باستعبادهم.

يطلب من البلدان المتقدمة أن تساهم لأن اقتصاداتها مهددة أيضا. لأن السلع التي يتم إنتاجها من العبودية أقل كلفة بكثير، لذا فإنها  ستربح للتنافس مع منتجات مماثلة من دول أخرى.

وقال التقرير: “بالاستكشاف عن تدفق التجارة والتركيز على المنتجات المعرضة لخطر الرق الحديث الذي تستورد البلدان الاقتصادية الكبرى مناجاته الا إنه يظهر بوضوح أن الدول الغنية عليها أيضا هذه المسؤوليات”.

المترجم: أحمد شكري | المحرر: طلال الشيقي | المصدر: كومباران


Jakarta, Indonesiaalyoum.com – Perbudakan ternyata masih ada di era modern sekarang ini. Walau secara praktik berbeda dengan di masa lampau, namun tetap saja merupakan pembelengguan manusia terhadap manusia lainnya. Dan yang terparah melakukannya adalah Korea Utara.

Walk Free Foundation pada Kamis (20/7) merilis laporan terbaru mereka soal angka perbudakan di seluruh dunia bertajuk The Global Slavery Index. Per 2016, menurut laporan tersebut, ada 40,3 juta orang yang jadi korban perbudakan modern di seluruh dunia.

Korea Utara menempati ranking pertama dari 136 negara. Diperkirakan di antara 25,2 juta populasinya, 2,6 juta adalah budak. Artinya, satu dari 10 orang di Korut adalah budak.

Perbudakan modern dilakukan dengan ancaman, kekerasan, atau penipuan oleh manusia untuk menguasai manusia lainnya agar mereka mau mengerjakan sesuatu yang tidak bisa mereka tolak. Biasanya perbudakan ini terjadi di sektor pertambangan batu bara, perkebunan kakao, kapas, penebangan kayu, atau perikanan.

Di Korea Utara, praktik ini paling banyak terjadi di sektor pertambangan batu bara. Negara yang dipimpin Kim Jong-un ini kaya akan batu bara dengan perkiraan cadangan mencapai 4,5 miliar ton. Namun perdagangannya sulit akibat sanksi dan embargo.

Salah satu bekas budak Korut adalah Yeon-mi Park yang diperdagangkan ke China dan dikawin paksa, sebelum akhirnya kabur dan membelot ke Amerika Serikat.

“Indeks ini membuat kami jadi perhatian,” kata dia, berbicara di markas PBB di New York, Amerika Serikat, seperti dikutip Associated Press.

“Lebih dari 40 juta orang, itu bukan hanya angka. Itu bisa siapa saja. Itu adalah saya. Itu ibu saya. Itu adik saya,” kata Park yang kini kuliah di Colombia University.

“Bahkan saat ini, ada 300 ribu pembelot Korut di China, dan 90 persen diperdagangkan. Mereka dijual oleh pria China untuk harga beberapa ratus dolar.”

Berada di urutan setelah Korut sebagai negara yang terbanyak memperbudak warganya adalah Eritrea, Burundi, Republik Afrika Tengah, Afghanistan, Mauritania, Sudan Selatan, Pakistan, Kamboja dan Iran.

“Rezim yang represif adalah yang paling mengkhawatirkan karena rakyatnya dipaksa bekerja untuk menyokong pemerintah,” ujar laporan tersebut.

Lantas, di mana posisi Indonesia?

Berdasarkan catatan indeks perbudakan global tersebut, Indonesia menempati posisi ke-74 dari 167 negara dan posisi ke-17 dari 28 negara Asia. Saat ini diperkirakan ada 1.220.000 orang yang menjadi budak modern di Indonesia.

Menurut catatan dalam indeks, perbudakan banyak terjadi di sektor perikanan di Indonesia.

“Pemerintah Thailand dan Indonesia khususnya telah mengambil langkah merespons isu ini, tapi masih banyak yang harus dilakukan untuk mengurangi kekerasan yang terjadi di industri perikanan,” tulis laporan tersebut.

Laporan ini juga menunjukkan bahwa negara-negara maju juga bertanggung jawab atas kondisi ini. Negara-negara ini diduga mengimpor USD 350 miliar barang dari produsen-produsen yang diduga melakukan perbudakan, menumbuhsuburkan praktik ini.

Negara maju diminta turut andil karena perekonomian mereka juga terancam. Pasalnya, barang-barang yang dihasilkan dari perbudakan harganya jauh lebih murah sehingga akan menang bersaing dengan produk serupa dari negara lain.

“Dengan mengungkap aliran perdagangan dan fokus pada produk yang berisiko hasil perbudakan modern yang diimpor oleh negara ekonomi besar, jelas menunjukkan bahwa negara-negara kaya juga punya tanggung jawab,” tulis laporan tersebut.

Penerjemah: Ahmad Syukri | Editor: Talal Al-Shaiqi | Sumber: Kumparan

تعليقات
Loading...