بابوا تَغلي، وجاكارتا لا تُبدي أهتمامًا..
Korban meninggal akibat konflik di Nduga, Papua 182 orang: 'Bencana besar tapi di Jakarta santai-santai saja'
جاكرتا، إندونيسيا اليوم – أعلن فريق المساعدات الإنسانية التي شكلته حكومة مدينة ندوجا أنه هناك 182 لاجئ لقوا حَتفهم إثر الصراع المسلح في بابوا، وذَكر الفَريق أن ما حدث (كارثة كبرى). وفي وَسط ذَلِك التَوتر، لم يَلقى هذا الحدث الإهتمام الكافي في جاكارتا.
صَرّح جون جونجا –عضو فريق المساعدات الإنسانية- أن مُعظم الذين لَقوا حَتفهم، مِن السيدات -114 سيدة- وكان ذَلِك بسبب شِدة البَرد والجوع والمَرض.
قال جون في لِقاء عُقِدَ مَعهُ في جاكارتا يوم الأربعاء (14/08)، متحَدثًا فيه عن النتائج التي أصدرها فريقه: “لَم يَتحمل الأطفال البرد والجوع، وَصلت المأساه أنهم أكلوا العُشب”.
وأضاف: “هذه كَارثة كُبرى وواحدة مِن الإنتهاكات الإنسانية، ولكن في جاكارتا لَم يُؤخذ المَوقف على مَحمل الجَد”.
وطِبقًا للمعلومات التي أصدرها فَريق المساعدات، فإن اللاجئين فَروا مِن أماكنِهم إلى أقرب مُدن وغابات، فَقد جاء حوالي 4276 لاجئ مِن مَنطقة مابيندوما، و4369 مِن مَنطقة موجي، و5056 مِن جيجي، و5021 مِن يال، و3775 مِن مبولمو يالما.
بالإضافة إلى بَعض المناطق الأخرى، مِثل كاجايم، فَقد أتى مِنها 4238 لاجئ، و2982 لاجئ مِن نيركوري، و4001 مِن اينيكاجال، و2021 مِن مبوا، و1704 مِن دال.
وأكمل حَديثه: “فَر اللاجئين إلى ويمينا، ولانجايا، وجايابورا، وياهوكيمو، وأسمات، وتيميكا. بالإضافة إلى جزء مِنهم مازال في وَسط الغابات مُنذ أشهر”.
هل هي كارثة وَطنية؟
شُرِد آلاف المواطنيين المدنيين مِن مَدينة ندوجا، بَعد حادِث مَقتل العشرات مِن موظفين شركة إستاكا كاريا في جبل كابو في ديسمبر الماضي بواسطة مُنَظمة (استقلال بابوا).
مُنذ تِلك اللحظة، بدأ الجيش الوطني الإندونيسي في رَدع تِلك المُنظمة بقيادة ايجانوس كوجيا، وفي وَسط تِلك العمليات العسكرية، شُرِد الآلاف.
شَجع الرئيس التنفيذي لمؤسسة بابوا للنزاهة والعدالة الإنسانية –إفضال قاسم- الحكومة، لتعتبر ما حَدث في بابوا كارثة وطنية.
ووفقًا لما قاله، فإنه يَجب أن يَحدث تغطية جيدة لمعاناه اللاجئين.
قال إفضال في اجتماع مَع مَكتب الرئيس الإندونيسي: “الآن هي مشكلة إنسانية”.
وأضاف إفضال في حوار أجراه مع وكالة بي بي سي الإخبارية يوم الأربع (14/08): “هَل الوضع هناك يستحق ما أتفق عليه في القانون الإندونيسي مِن اجراءات لتخفيف الكارثة، أم الوَضع يحتاج إلى دراسة بِشكل أكثر حكمة”.
بموجب هذا القانون، يَجب أن تَشمل المراجع على معلومات دقيقة عن أعداد الضحايا والممتلكات المفقودة والأضرار التي لَحقت بالبنية التحتية، باللإضافة إلى الآثار الإجتماعية والإقتصادية.
وأضاف: “تَلقينا بيانات كثيرة بخصوص الوَضع هناك مِن الأشخاص الذين يعملون في ندوجا، وأصبح الآن كثافة التقييمات كبيرة لإن الوَضع هناك أصبح أولوية”.
رَفض المساعدات الحكومية
قَدمت الحكومة الإندونيسية مساعدات عينية للاجئين، عَبر وزارة التضامن الإجتماعي. ولَكن بَعضهم رَفضها لِعدة أسباب.
قال ثيو: “سَبب رَفض بَعض اللاجئين للمساعدات هو أن لَهم أخوه في الغابات لَم تتَم مساعدهم حتى الآن ولَقوا حَتفهم”. أضاف ثيو أن الحكومة يَجب أن تتبع نهج ثقافي في تقديم المساعدات لتقريب وجهات النَظر.
أضاف أيضًا: “بَعض مِن اللاجئين رَفضوا أن يأخذوا المساعدات إلا إذا خَرجت الشرطة والجيش الإندونيسي مِن ندوجا لإن وجودهم يَجعل السُكان واللاجئين خائفين.
رَفض داريانتو –أحد المسؤولين في الجيش الوطني الإندونيسي- التعليق على هذا الأمر.
بينما أكد إفضال على أن وجود الجيش في منطقة ندوجا مُهم لتسهيل وتأمين عَمل العُمال والأطباء وللقضاء على الأزمة الصحية هناك.
قال إفضال: “مِن الصَعب ضَمان استمرار العملية التعليمية هناك، وحَل مشاكل الأطفال والسيدات وبالطبع المشاكل في البنية التحتية بدون تأمين قوي مِن الجيش الإندونيسي”.
لا يخافون مِن الجيش الإندونيسي
قال اللواء سيسريادي –رئيس مركز معلومات الجيش الوطني الإندونيسي- أن سُكان ندوجا لا يخافون أو يرفضون وجود الجيش هناك على الإطلاق. مِن الممكن أنهم يخافون أن يَتم ايذائهم مِن قِبل الجامعات المسلحة إذا شُهدوا بالقرب مِن أفراد الجيش.
قال اللواء سيسريادي في حوار أجريَّ مَعه عَبر الهاتف: “بمجرد قبولهم مساعدات مِن الدولة، يَتم تخويفهم مِن قِبل تِلك الجامعات المسلحة، وقد حَدث ذلك كثيرا”.
أنكر سيسريادي أيضًا المعلومات التَي نَشرها فريق المساعدات الإنسانية وقال: “نَحن نأخذ معلوماتنا مِن الحكومات المحلية”.
فطبقًا للمعلومات التي أصدرتها وزارة التضامن الإجتماعي، فَرع بابوا، فإن عدد مَن لَقوا حَتفهم 53 شَخص، مِن بينهم 23 طِفل.
أكد أيضًا أن وجود الجيش الوطني الإندونيسي في ندوجا مهم للغاية، حَيث أن الجيش يساعد في بناء المنشآت العامة واعطاء المساعدات الصحية والغذائية للسكان المحليين. كمان أنه يساعد الشُرطة في مهمة التأمين.
قال سيسريادي: “هذا مِن أجل القانون”.
المترجم : محمد علي | المصدر: وكالة بي بي سي الإخبارية
Jakarta, Indonesiaalyoum.com – Tim Kemanusiaan yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Nduga menyatakan 182 pengungsi meninggal di tengah konflik bersenjata di Papua kejadian yang disebut “bencana besar, tapi di Jakarta santai-santai saja.”
John Jonga, anggota tim kemanusiaan, menyatakan pengungsi yang meninggal – sebagian besar perempuan berjumlah 113 orang – adalah akibat kedinginan, lapar dan sakit.
“Anak-anak ini tidak bisa tahan dingin dan juga ya makan rumput. Makan daun kayu. Segala macam yang bisa dimakan, mereka makan,” kata anggota timnya, John Jonga saat merilis hasil temuannya di Jakarta, Rabu (14/08).
“Ini sudah tingkat pelanggaran kemanusiaan terlalu dahsyat. Ini bencana besar untuk Indonesia sebenarnya, tapi di Jakarta santai-santai saja,” tambahnya.
Berdasarkan temuan tim yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Nduga ini, para pengungsi berasal dari Distrik Mapenduma sebanyak 4.276 jiwa, Distrik Mugi 4.369 orang dan Distrik Jigi 5.056, Distrik Yal 5.021, dan Distrik Mbulmu Yalma sebesar 3.775 orang.
Sejumlah distrik lain yang tercatat adalah Kagayem 4.238, Distrik Nirkuri 2.982, Distrik Inikgal 4.001, Distrik Mbua 2.021, dan Distrik Dal 1.704.
Mereka mengungsi ke kabupaten dan kota terdekat atau ke dalam hutan, kata John.
“Ada yang ke Wamena, Lanijaya, Jayapura, Yahukimo, Asmat, dan Timika. Pengungsi-pengungsi itu (sebagian) masih ada di tengah hutan, sudah berbulan-bulan,” lanjutnya.
Ditetapkan sebagai bencana nasional?
Ribuan warga sipil di Kabupaten Nduga mengungsi setelah pembunuhan belasan karyawan PT. Istaka Karya di Gunung Kabo, Desember 2018 lalu oleh anggota Organisasi Papua Merdeka.
Setelah peristiwa pembantaian ini, pemerintah menambah pasukan militer di Kabupaten Nduga untuk mengejar kelompok OPM pimpinan Eginaus Kogeya. Di tengah operasi militer inilah ribuan warga sipil mengungsi.
Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hasegem mendorong pemerintah untuk menjadikan apa yang terjadi di Nduga sebagai bencana nasional.
Menurutnya cakupan korban jiwa dan penderitaan pengungsi sudah bisa dijadikan ukurannya.
“Ini sudah masuk ke dalam isu kemanusiaan,” katanya.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ifdhal Kasim mengatakan untuk menetapkan bencana nasional, perlu adanya evaluasi dari kementerian dan lembaga.
“Persyaratan dalam UU (Penanggulanan Kebencanaan) itu sudah memenuhi atau belum. Itu yang memerlukan pengkajian lebih jauh terhadap situasi di sana,” kata Ifdhal saat dihubungi BBC Indonesia, Rabu (14/08).
Berdasarkan UU ini, indikator penetapan status dan tingkat bencana nasional perlu meliputi jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasaran, cakupan luas wilayah, dan dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan.
“Memang itu laporan data-data berkenaan dengan korban dari orang yang bekerja di sana. Kita terima, dan itu jadi evaluasi karena itu intensitas memulihkan situasi di Nduga itu jadi prioritas,” lanjut Ifdhal.
Bantuan pemerintah ditolak
Saat ini pemerintah melalui Kementerian Sosial telah menyalurkan bantuan berupa makanan. Tapi sebagian pengungsi menolak bantuan tersebut karena sejumlah alasan.
“Alasan penolakan itu saudara-saudara kami sedang korban meninggal di hutan, terus kita mau tinggal di sini, mau enak-enak makan. Sementara teman-teman kita yang ada di hutan mati semua,” kata Theo sambil mengatakan pemerintah perlu melakukan pendekatan secara kultural kepada para pengungsi.
Alasan lainnya, para pengungsi juga meminta penarikan pasukan TNI/Polri dari Kabupaten Nduga. Sebab, keberadaan tentara justru membuat pengungsi ketakutan. “Supaya kami bisa masuk ke daerah, kita bisa leluasa di kampung-kampung. Daripada kami dibantu terus,” tambah Theo.
Terkait hal ini, Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) Cenderawasih Letkol Cpl Eko Daryanto menolak berkomentar.
Namun Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ifdhal Kasim mengatakan keberadaan militer di Kabupaten Nduga “untuk memudahkan, bekerjanya (petugas) bantuan-bantuan untuk mengatasi soal krisis kesehatan di sana’.
“Mulai soal anak, perempuan, dan pendidikannya. Jadi juga infrastruktur, karena kalau tidak ada jaminan kemanan juga sulit dilakukan. Cuma kan yang pengamanan ini tidak dikesankan sebagai satu operasi militer. Kira-kira begitu,” kata Ifdhal.
‘Mereka tidak takut pada TNI’
Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Mayor Jenderal Sisriadi, menilai warga Nduga sebenarnya tidak takut atau menolak keberadaan tentara di daerah mereka.
Namun, klaim dia, warga Nduga khawatir diintimidasi kelompok bersenjata jika terlihat dekat dengan TNI.
“Begitu mereka menerima bantuan (akan) mendapat intimidasi dari kelompok kriminal bersenjata. Dan itu sudah banyak terjadi,” kata Sisriadi melalui sambungan telepon.
Sisriadi juga membantah data kematian pengungsi yang disusun Tim Kemanusiaan Nduga. “Kami melihat data dari pemerintah daerah,” katanya.
Berdasarkan Kementerian Sosial dan Pemprov Papua, jumlah pengungsi Nduga yang meninggal sebanyak 53 orang. Dari angka korban itu, 23 di antaranya merupakan anak-anak.
Sisriadi berkata, keberadaan TNI di Nduga penting untuk membantu pembangunan fasilitas publik. Ia menyebut TNI juga memberi layanan kesehatan, bantuan makanan dan obat-obatan kepada warga lokal.
Keberadaan TNI di Papua, kata dia, juga dalam rangka membantu operasional kepolisian. “Jadi ini operasi penegakan hukum,” ujar Sisriadi.
Penerjemah: Mohamed Ali | Sumber: bbc.com